KALTIMTARA.ID, BERAU – Peringatan Hari Jadi ke-72 Kabupaten Berau sekaligus HUT ke-215 Kota Tanjung Redeb diawali dengan kegiatan sakral, yakni ziarah ke makam Raja pertama Kesultanan Berau, Baddit Dipattung bergelar Aji Raden Surya Nata Kusuma. Prosesi yang berlangsung di Kampung Merancang Ulu, Kecamatan Gunung Tabur pads Sabtu (13/9/2025) ini menjadi refleksi historis atas perjalanan panjang peradaban Berau sejak abad ke-14.
Rombongan ziarah dipimpin Ketua Dewan Adat Kesultanan Gunung Tabur, Pangeran Hadiningrat, serta turut dihadiri oleh Sultan Gunung Tabur, Adji Awang Idris; Ketua Lembaga Pemangku Adat, Endin Supandi; Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas; dan Wakil Bupati Berau, Gamalis . Kehadiran jajaran Forkopimda, tokoh adat, perwakilan perusahaan, hingga masyarakat umum, memperlihatkan kuatnya ikatan antara pemerintah, adat, dan rakyat dalam menjaga tradisi.
Bupati Berau Sri Juniarsih Mas menekankan bahwa ziarah bukan sekadar prosesi rutin, melainkan pengingat akan identitas dan akar budaya daerah.
“Tradisi ini tidak hanya ritual, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali sejarah yang membentuk Berau. Karena itu, ziarah setiap tahun kami tetapkan menjadi bagian resmi dari rangkaian peringatan hari jadi,” ucapnya.
Sebagai wujud komitmen, Pemkab Berau tengah menyiapkan master plan penataan kawasan makam. Program tersebut mencakup pembangunan taman, penyediaan fasilitas peziarah, hingga penyusunan narasi sejarah yang menampilkan kiprah Aji Raden Surya Nata Kusuma selama 32 tahun memimpin (1377–1401).
“Saya ingin setiap peziarah memahami siapa beliau, apa perannya, dan bagaimana kepemimpinannya. Untuk itu, saya minta camat dan lurah Gunung Tabur segera menyiapkan narasi sejarah tersebut,” tegas Sri Juniarsih.
Lebih dari sekadar penghormatan, kawasan makam dirancang untuk menjadi destinasi wisata religi dan sejarah. Penataan ini diharapkan dapat menarik kunjungan wisatawan sekaligus menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap pentingnya menjaga budaya dan sejarah lokal.
Kegiatan ziarah tahunan ini pun dipandang sebagai simbol persatuan. Ia menghubungkan pemerintah, kesultanan, dan masyarakat dalam satu ikatan silaturahmi, serta menegaskan bahwa warisan leluhur bukan sekadar peninggalan, melainkan fondasi yang harus dirawat di tengah arus modernisasi.
Penulis: Dewi Ayu
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.